Cita-cita, Perjumpaan, dan Alasan Menulis




Pada sebuah perlombaan deklamasi tingkat kabupaten untuk anak-anak usia TK, sesaat setelah turun dari panggung, dengan piala juara pertama--yang sebesar lengannya--di tangan kanan, dan selembar piagam di tangan kiri, seorang gadis kecil dihampiri oleh wartawan koran lokal. Dokter, jawabnya pada pertanyaan perihal cita-cita. Gadis itu adalah saya. Saya ingat benar, saya mengatakan ingin menjadi dokter karena tidak mengerti apa cita-cita saya dan lagu yang dibawakan oleh Susanlah yang pertama terlintas dan dokter terdengar lebih keren ketimbang insinyur atau presiden.


Seiring waktu berjalan, pengetahuan, pengalaman, dan pengamatan yang bertambah membuat cita-cita saya selalu berubah-ubah. Saat di sekolah dasar, saya ingin menjadi bintang film India. Bermain film--atau bernyanyi dan bergoyang--bersama Sharukh Khan, terdengar mengasyikan betul, apalagi bisa dikenal banyak orang. Waktu itu, Kuch-Kuch Ho Ta Hai sedang menjadi perbincangan di semua kalangan.


Saat memasuki kehidupan sekolah menengah pertama, saya tiba-tiba ingin menjadi penyair, dan menyadari bahwa menjadi bintang film India adalah sebuah kemustahilan, maka bayangan bernyanyi dan bergoyang bersama Sharukh Khan perlahan mengabur: dan menjadi lucu. Cita-cita ini saya dapatkan pada suatu hari di kelas mata pelajaran Bahasa Indonesia, saat itu guru meminta kami membentuk kelompok belajar, untuk membahas karya-karya penyair terkenal. Menjadi W.S. Rendra perempuan sepertinya keren juga, pikir saya.


Menginjak bangku sekolah menengah kejuruan, saya mulai mendapatkan masalah-masalah yang lebih serius di dalam hidup, yang membuat saya tidak lagi memikirkan cita-cita. Pelajaran di sekolah teknik membuat saya jauh dari sastra, kisah asmara masa remaja membuat saya enggan memikirkan W.S. Rendra, dan kesulitan ekonomi keluarga--yang mulai dapat saya pahami--membuat saya tidak berani memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Di dalam benak waktu itu, saya akan lulus SMK lalu bekerja di tempat biasa saja lalu bertemu lelaki dan menikah lalu hamil dan punya anak, dan hidup seperti orang kebanyakan.


Namun, menjelang kelulusan SMK, terjadi sebuah peristiwa yang membuat saya bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke universitas. Satu tahun setelah kelulusan SMK, saya mendaftar kuliah di salah satu universitas swasta di Denpasar, dan berhasil lulus tiga setengah tahun kemudian. Semenjak saat itu saya meyakini satu hal: kita akan mendapatkan apa yang kita upayakan dengan sungguh-sungguh. Lalu, tepat setelah mendapat gelar sarjana, keinginan-keinginan baru mulai tumbuh di dalam dada saya: dan saya merasa “hidup”.


Suatu hari saya berjumpa dengan A.S. Laksana melalui sebuah kolom sastra di koran akhir pekan, dan sejak saat itu saya mulai lebih banyak membaca, yang di kemudian hari membawa saya berjumpa dengan Agus Vrisaba --semoga almarhum tenang dan berbahagia di alam sana. Saya bercengkerama dengannya melalui sebuah buku kumpulan cerpen usang yang dihadiahkan oleh seseorang. Saya memang sudah menulis sejak 2011: beberapa sajak dan cerita-cerita fiksi, sebagai sarana untuk menjaga kewarasan, namun perjumpaan dengan mereka menyulut keinginan di dalam dada: saya ingin menjadi seorang pengarang cerita --yang baik. Kemudian menyusul perjumpaan-perjumpaan yang lain yang membuat nyala di dalam dada saya makin terang.


Salah satu perjumpaan yang mengesankan bagi saya adalah ketika dipertemukan dengan enam orang kawan, medio 2017, yang kemudian tergabung dalam Nyincing Daster Club (NDC). NDC sebagai wadah bagi kami untuk saling mengingatkan, mendukung, dan menyemangati agar terus menulis, tak putus belajar, dan selalu mengupayakan yang terbaik. Kemudian saya mulai mengikuti kelas-kelas menulis daring, menonton video-video tentang kepenulisan, dan mendatangi acara-acara kesusastraan: demi menambah bahan bakar, dan sejujurnya, Pelatihan Menulis Tempo adalah salah satu bahan bakar yang saya incar. Seperti kebohongan, sebuah keinginan ternyata mendatangkan keinginan yang lain dan yang lain lagi. Namun, bukankah kita memang hidup dari keinginan-keinginan?


Saya akan menceritakan sebuah cerita menarik, perihal keinginan yang menjadi kenyataan. Pada akhir tahun lalu, saya mengisi bio akun di sebuah platform menulis digital, seperti ini: "Saya ingin belajar langsung kepada A.S. Laksana, sebelum menulis buku sendiri". Tiga bulan kemudian, saya berkesempatan untuk belajar kepada beliau melalui pelatihan daring yang beliau ampu. Beberapa hari yang lalu, beliau berkata: "Menulis tidak pernah betul-betul mudah, karena kita selalu belajar, Mbak. Mula-mula saya suka sekali pada cerpen-cerpen jenis O. Henry. Kemudian kenal gaya lain, kenal gaya lain lagi, kenal gaya lain lagi. Seperti itu terus.” Tiga kalimat itu menggetarkan hati saya. Jika seorang A.S. Laksana masih terus belajar, saya--yang bukan A.S. Laksana--sudah barang tentu harus terus belajar: kepada siapa pun dan di mana pun.


Untuk menjawab pertanyaan mengapa saya harus menulis, barangkali saya tidak memiliki jawaban heroik, sebab saya "hanya" ingin menjadi pengarang cerita yang baik. Untuk menjadi pengarang cerita yang baik, saya harus terus menulis.


Mengutip Putu Fajar Arcana, dalam pengantar sebuah buku digital: "Fiksi adalah suara hati yang terkubur di dasar peristiwa. Jika jurnalistik 'hanya' mencatat peristiwa, maka fiksi merekam perasaan-perasaan yang terpendam di balik peristiwa itu." Maka saya yakin, seorang pengarang yang baik, akan mampu menyajikan rekaman--perasaan-perasaan yang terpendam itu--dengan baik pula.


***


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerja sama dengan Tempo Institute.

0 comments:

Post a Comment

Tuhan gemar bercanda, dan saya sedang berusaha tertawa

Powered by Blogger.