Cita-cita, Perjumpaan, dan Alasan Menulis




Pada sebuah perlombaan deklamasi tingkat kabupaten untuk anak-anak usia TK, sesaat setelah turun dari panggung, dengan piala juara pertama--yang sebesar lengannya--di tangan kanan, dan selembar piagam di tangan kiri, seorang gadis kecil dihampiri oleh wartawan koran lokal. Dokter, jawabnya pada pertanyaan perihal cita-cita. Gadis itu adalah saya. Saya ingat benar, saya mengatakan ingin menjadi dokter karena tidak mengerti apa cita-cita saya dan lagu yang dibawakan oleh Susanlah yang pertama terlintas dan dokter terdengar lebih keren ketimbang insinyur atau presiden.


Seiring waktu berjalan, pengetahuan, pengalaman, dan pengamatan yang bertambah membuat cita-cita saya selalu berubah-ubah. Saat di sekolah dasar, saya ingin menjadi bintang film India. Bermain film--atau bernyanyi dan bergoyang--bersama Sharukh Khan, terdengar mengasyikan betul, apalagi bisa dikenal banyak orang. Waktu itu, Kuch-Kuch Ho Ta Hai sedang menjadi perbincangan di semua kalangan.


Saat memasuki kehidupan sekolah menengah pertama, saya tiba-tiba ingin menjadi penyair, dan menyadari bahwa menjadi bintang film India adalah sebuah kemustahilan, maka bayangan bernyanyi dan bergoyang bersama Sharukh Khan perlahan mengabur: dan menjadi lucu. Cita-cita ini saya dapatkan pada suatu hari di kelas mata pelajaran Bahasa Indonesia, saat itu guru meminta kami membentuk kelompok belajar, untuk membahas karya-karya penyair terkenal. Menjadi W.S. Rendra perempuan sepertinya keren juga, pikir saya.


Menginjak bangku sekolah menengah kejuruan, saya mulai mendapatkan masalah-masalah yang lebih serius di dalam hidup, yang membuat saya tidak lagi memikirkan cita-cita. Pelajaran di sekolah teknik membuat saya jauh dari sastra, kisah asmara masa remaja membuat saya enggan memikirkan W.S. Rendra, dan kesulitan ekonomi keluarga--yang mulai dapat saya pahami--membuat saya tidak berani memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Di dalam benak waktu itu, saya akan lulus SMK lalu bekerja di tempat biasa saja lalu bertemu lelaki dan menikah lalu hamil dan punya anak, dan hidup seperti orang kebanyakan.


Namun, menjelang kelulusan SMK, terjadi sebuah peristiwa yang membuat saya bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke universitas. Satu tahun setelah kelulusan SMK, saya mendaftar kuliah di salah satu universitas swasta di Denpasar, dan berhasil lulus tiga setengah tahun kemudian. Semenjak saat itu saya meyakini satu hal: kita akan mendapatkan apa yang kita upayakan dengan sungguh-sungguh. Lalu, tepat setelah mendapat gelar sarjana, keinginan-keinginan baru mulai tumbuh di dalam dada saya: dan saya merasa “hidup”.


Suatu hari saya berjumpa dengan A.S. Laksana melalui sebuah kolom sastra di koran akhir pekan, dan sejak saat itu saya mulai lebih banyak membaca, yang di kemudian hari membawa saya berjumpa dengan Agus Vrisaba --semoga almarhum tenang dan berbahagia di alam sana. Saya bercengkerama dengannya melalui sebuah buku kumpulan cerpen usang yang dihadiahkan oleh seseorang. Saya memang sudah menulis sejak 2011: beberapa sajak dan cerita-cerita fiksi, sebagai sarana untuk menjaga kewarasan, namun perjumpaan dengan mereka menyulut keinginan di dalam dada: saya ingin menjadi seorang pengarang cerita --yang baik. Kemudian menyusul perjumpaan-perjumpaan yang lain yang membuat nyala di dalam dada saya makin terang.


Salah satu perjumpaan yang mengesankan bagi saya adalah ketika dipertemukan dengan enam orang kawan, medio 2017, yang kemudian tergabung dalam Nyincing Daster Club (NDC). NDC sebagai wadah bagi kami untuk saling mengingatkan, mendukung, dan menyemangati agar terus menulis, tak putus belajar, dan selalu mengupayakan yang terbaik. Kemudian saya mulai mengikuti kelas-kelas menulis daring, menonton video-video tentang kepenulisan, dan mendatangi acara-acara kesusastraan: demi menambah bahan bakar, dan sejujurnya, Pelatihan Menulis Tempo adalah salah satu bahan bakar yang saya incar. Seperti kebohongan, sebuah keinginan ternyata mendatangkan keinginan yang lain dan yang lain lagi. Namun, bukankah kita memang hidup dari keinginan-keinginan?


Saya akan menceritakan sebuah cerita menarik, perihal keinginan yang menjadi kenyataan. Pada akhir tahun lalu, saya mengisi bio akun di sebuah platform menulis digital, seperti ini: "Saya ingin belajar langsung kepada A.S. Laksana, sebelum menulis buku sendiri". Tiga bulan kemudian, saya berkesempatan untuk belajar kepada beliau melalui pelatihan daring yang beliau ampu. Beberapa hari yang lalu, beliau berkata: "Menulis tidak pernah betul-betul mudah, karena kita selalu belajar, Mbak. Mula-mula saya suka sekali pada cerpen-cerpen jenis O. Henry. Kemudian kenal gaya lain, kenal gaya lain lagi, kenal gaya lain lagi. Seperti itu terus.” Tiga kalimat itu menggetarkan hati saya. Jika seorang A.S. Laksana masih terus belajar, saya--yang bukan A.S. Laksana--sudah barang tentu harus terus belajar: kepada siapa pun dan di mana pun.


Untuk menjawab pertanyaan mengapa saya harus menulis, barangkali saya tidak memiliki jawaban heroik, sebab saya "hanya" ingin menjadi pengarang cerita yang baik. Untuk menjadi pengarang cerita yang baik, saya harus terus menulis.


Mengutip Putu Fajar Arcana, dalam pengantar sebuah buku digital: "Fiksi adalah suara hati yang terkubur di dasar peristiwa. Jika jurnalistik 'hanya' mencatat peristiwa, maka fiksi merekam perasaan-perasaan yang terpendam di balik peristiwa itu." Maka saya yakin, seorang pengarang yang baik, akan mampu menyajikan rekaman--perasaan-perasaan yang terpendam itu--dengan baik pula.


***


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerja sama dengan Tempo Institute.

Aku Telah



Pertanyaan mengambang di benakku beberapa bulan belakangan
Aku perlahan meninggalkanmu jauh di masa lalu - aku mulai bahagia
Aku jatuh cinta – lagi
Aku bahagia.
Lalu menikahinya
Aku lebih bahagia!
Aku telah.
Dan kini -
aku terkesiap,
Kau tahu,
sekaget kelelawar terbangun pada suatu masa
yang ternyata udara sekelilingnya masih dipenuhi sinar Matahari.

Aku telah melangkahkan bahagiaku jauh melampaui yang pernah kujanjikan
Sepertinya
Aku telah melampaui bahagia yang mampu kutahankan
Aku meninggalkanmu sekali lagi
Jauh di garis entah sebelah mana, di balik punggungku
Aku telah.
Benakku tanpa perintah
Mengulang berkali
Sejauh mana bahagiamu dapat melangkah?
Bahagiakah kau hari ini?

Bahagiakah kau hari nanti?

Setelah Negara Api Menyerang


Berbicara tentang menangis, sebenarnya aku adalah orang yang jarang meneteskan air mata , bisa dibilang susah untuk bisa menangis. Bahkan aku sering merasa sesak yang teramat sangat ketika ada hal yang bisa membuatku ingin menangis namun air mata ini tak kunjung mau menetes dari kedua mata. Seperti ada kodok yang tak dapat aku telan dan “nyangkut” di tenggorokan. Begitulah aku, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Akulah, gadis yang susah menangis itu.
Tapi kemudian, di satu hari saat aku sedang berada di sebuah pantai di pulau Bali, menikmati senja dan semilir angin dari arah benua Australia menerpa wajahku, bulatan besar berwarna oranye itu tiba-tiba berubah menjadi segerombolan manusia yang terbuat dari api, berarak menuju ke arah dimana aku menempelkan bokong dengan nyamannya. Gawat, negara api menyerang!
Maka, sejak saat itu aku menemukan diriku mudah menangis pada hal-hal sepele.

Aku menangis saat bekerja. Dua atau tiga tahun yang lalu (kurasa serangan negara api juga telah membuatku mudah lupa), aku adalah seorang teller merangkap CS di perusahaan pembiayaan; “panggon utang”, tempat mencairkan BPKB, semacam itulah. Waktu itu, sepasang kakek-nenek jauh dari desa di ujung selatan Malang duduk di hadapanku, mereka bercerita bahwa hutang ini adalah hutang anaknya yang “lari” ke luar negeri. Bahkan selain hutang, anaknya juga meninggalkan seorang bocah kepada mereka. Kedatangan mereka adalah untuk melunasi seluruh hutang yang tertunggak beserta denda-dendanya. Setelah memasukkan nomer pelanggan yang mereka sebutkan, aku terbelalak dengan besarnya jumlah denda yang harus mereka bayar. Selesai menginformasikan total besaran uang yang harus mereka bayarkan, aku permisi sebentar, ke lantai atas guna menemui atasanku barangkali ada sesuatu yang bisa kami lakukan. Dan sialan, “ini sudah prosedur” dan air mata ini tak tau malu. Ditemani atasanku, aku mencatatnya pada aplikasi di komputer dengan berurai air mata. Aku melihat seorang terluka tapi aku tak bisa berbuat apapun. Bagaimana aku tidak menangis? Setelah semua sistem jahat terlewati, mereka, kakek-nenek itu berpamitan pulang dan mereka masih sempat menambahkan doa-doa baik yang ditujukan untukku sebelum mereka benar-benar pergi. Aku mengantar mereka ke depan pintu untuk kemudian mengantarkan air mataku ke toilet.

Iya, itu beberapa tahun yang lalu. Sebelum beberapa hari lalu, aku menangis pada ponselku yang tidak bisa menyala. Sebelum tidur aku terbiasa mengisi daya baterai dari ponselku agar besok paginya telah terisi penuh dan dapat kupakai untuk keperluan hari itu. Tapi pagi itu, aku menemukannya tak dapat kunyalakan. Beberapa colokan charger telah kucoba namun tak berhasil. Kudiamkan sebentar, kabel kutekuk-tekuk, sampai kabel data kumasukkan ke komputer pun tetap tak berhasil. Aku menyerah padanya, tapi kau tau, satu-satunya yang berhasil kulakukan adalah memeluk bantal dan meneteskan air mata. Oh raja negara api, tolong isikan baterai ponselku.

Ada satu lagi yang membuatku mudah menangis yaitu memasak. Bukan karena mengiris bawang sehingga aku berair mata. Tetapi karena memasak untuk kemudian dibuang karena tidak habis dimakan. Bayangkan, kemarin aku memasak sayur asem yang bahannya kubeli dari tukang sayur langganan, dan satu bungkus bahan untuk sayur asem isinya macam-macam, ada kacang panjang, tauge, kangkung dan mentimun. Meskipun harganya hanya Rp 1.000 sebungkus, tapi aku harus memetik mereka satu-persatu. Kacang panjang harus kupetik satu-persatu, mentimun masih mending bisa diiris, kangkung juga harus kupetik satu-persatu, dan tauge, tau kan tauge itu kecil-kecil, dan harus banyak kalau kau ingin memasak satu panci sayur asam. Dan aku harus memetik buntutnya SATU-PERSATU kecuali aku mau tauge dengan akar-akar yang masih bocah yang baru tumbuh itu tersangkut tak nyaman di tenggorokan suamiku dan juga aku. Sesudah itu aku masih harus menghaluskan bumbu-bumb. Lalu pagi tadi aku harus menyaksikan mereka yang sudah matang tapi tak dapat dimakan itu sedang teronggok di tempat sampah. Dan tentu saja setelah itu aku juga harus membuang ingus yang datang bersama sayur asem yang terbuang.


Jadi ya begitu, semenjak negara api menyerang aku berubah menjadi makhluk yang mudah menangis.


***

ditulis untuk #tigahalyangmudahmembuatkumenangis bersama #nyincingdasterclub

Kebodohan Segala Bidang



“Kamu beneran ngomong gitu ke dia?”

Pertanyaan itu dilontarkan seorang teman begitu selesai aku bercerita bahwa aku menghubungi wanita itu. Aku yakin dia mengetiknya dengan mata melotot dan menggeleng-gelengkan kepala. Aku membacanyapun sambil nyengir. Bagaimana tidak, aku mengakui bahwa aku telah melakukan hal bodoh dengan menghubungi wanita itu dan memberinya daftar kebiasaan dari lelaki yang telah memilih wanita itu untuk menjadi kekasihnya daripada terus menjadi kekasihku. Aku seolah seperti wanita menyedihkan yang ketakutan tidak akan “laku” lagi setelah kehilangan kekasihnya. Aku benar-benar seperti wanita yang sedang mengemis kepada wanita lainnya untuk berbaik hati mengembalikan kekasihnya lagi. Aku memang terlalu bodoh, sebab aku butuh waktu lebih dari empat tahun untuk bisa menyadari bahwa yang selama ini bersamaku tidak benar-benar mengasihiku. Aku tidak pernah menyesali kebodohanku itu, kau tahu kenapa? Sebab setelah membaca balasan yang diberikan oleh wanita itu, aku tahu dengan benar telah melepaskan kekasihku untuk orang yang seperti apa.
Oh. Jangan salah, aku tidak mengklaim bahwa aku lebih baik daripada dia atau dia lebih buruk daripada aku. Hanya saja, aku semakin menyadari bahwa Tuhan pasti memberikan pasangan yang pantas untuk setiap-tiap manusia.

Itu kebodohan pertama yang tidak akan kusesali. Aku akan menuliskan tiga kebodohan lain, yang juga tidak akan pernah kusesali selamanya. Kau tahu, aku akan sering-sering membaca tulisan ini untuk menggetok kepalaku sendiri jika suatu hari timbul sedikit saja penyesalan.

Kebodohan berikutnya adalah keputusanku untuk mulai belajar menggambar.

“bocah edan” begitu tanggapan seorang kawan ketika kuminta untuk mengajariku menggambar.
“aku ndak punya alasan segila Sitra, tapi tolong ajari aku menggambar” begitu kata seorang teman yang meminta kawanku itu juga untuk mengajarinya menggambar.
Aku tidak akan menyesal sebab setelah sekian waktu aku belajar menggambar mulai dari benda-benda kecil hingga aku sampai pada tujuanku semula, aku malah keasyikan meneruskan menggambar orang-orang lain setelah aku bisa menggambar wajahnya dengan tanganku sendiri.

Kebodohan terakhir yang tidak akan pernah kusesali adalah berhenti bekerja.
Aku mendapatkan pekerjaan yang begitu baik untukku dari segala segi. Pekerjaan yang kudapat setelah kesana-kemari mengalami penolakan. Pekerjaan yang tidak hanya memberiku penghasilan tapi juga beberapa orang yang sudah seperti saudara. Pekerjaan yang menyelamatkanku dari kesedihan sebab masalah yang menimpaku sebelumnya.
“Baiklah, besok aku akan memberi tahu atasanku bahwa aku memutuskan untuk bertahan paling tidak sampai satu atau dua tahun ke depan” begitu kataku setelah kami berbicara semalaman suntuk untuk merundingkan sesuatu yang bersangkutan dengan masa depanku, masa depannya, masa depan kami. Kami mencapai kesepakatan untuk bersabar sekian waktu menjalani hubungan jarak jauh yang terbentang di depan mata.

“Lho, kok bisa?” katanya setelah aku memberitahunya bahwa aku telah mengundurkan diri. Aku tahu, dia pasti merutuki perdebatan panjang tak berguna kami kemarin malam. Waktu itu aku juga tidak benar-benar mengerti kenapa malah kalimat pengunduran diri yang meluncur dari bibirku. Mereka terlontar begitu saja.

Tapi aku tak pernah menyesalinya, sebab kini aku mengerti bahwa makan dengan tahu goreng dan sambal korek berdua jauh lebih nikmat daripada makan udang bakar di restoran seafood mahal di Pantai Jimbaran seorang diri.

***
ditulis bersama #nyincingdaterclub dengan tema #tigahalbodohyangtidakakankusesali
maap telat :*

Memelihara Ingatan


#MemeliharaIngatan

(Lewes Road, Brighton – Desember 2015)
Ini gelas bir kesekian yang kuminum malam ini. Mataku masih menatap tajam ke layar laptop. Jemariku terus mengetikkan kata demi kata. Laporan ini harus kelar sebelum jam 3 pagi. Setidaknya aku punya waktu 3 jam untuk melelapkan mata.

Bekerja di organisasi riset macam ini memberikan cukup banyak tekanan, khususnya deadline. Aku musti pinter-pinter bagi waktu antara ngerjain tesis dan ngerjain riset ini. Tapi, kalo gak gini, aku gak bakalan punya duit lebih buat biaya hidup. Uang beasiswa yang kudapat hanya cukup untuk membiayai tuition fee sekolahku dan biaya apartemen di sini. So, this is the most feasible way to get some money.

Jam sudah menunjukkan pukul 1.30 AM. “Done!”, pekikku dalam hati. Ah, akhirnya bisa kelar sebelum jam tiga. Aku minum lagi sisa bir di gelasku. Aku kirim email kerjaan yang baru saja ku rampungkan. Yup! Sent!
Belum sempet aku tutup halaman browserku, aku sedikit tersentak dengan email yang masuk.

Gent : Bi, loe apakabar?
Jantungku berhenti berdetak sepersekian detik. Setelah lama banget ni orang ngilang dari hidupku, terus sekarang tiba-tiba muncul lagi dan nanyain aku lagi di mana. Aku lagi di negeri orang woy!!
Aku : Hai Gent..! Kabar baik di sini. Cuman sedikit flu, mungkin karena lagi musim dingin, gampang banget kena flu. Apakabarmu, Gent? Long time no see...
Gent : Take care, Bi.. Jangan lupa minum vitamin ya.. I am fine here, Bi.. Lagi kangen kamu..
Aku : Hhhmm... Gimana kabarnya Vanilla?
Gent : We are okay.. Everything went right. How’s Dito? Masih jalan sama Dito kan? Kok lama gak liat kabar dari kalian berdua...
Aku : Ohh.. Syukurlah ( Dito? Sure, we are.
Gent : Jadi, kapan kalian nikah? Hehehe
Aku : Nyelesein tesis dulu lah, Bro... Kalian sendiri, kapan married?
Gent : 15 Januari besok ini Bi. Usahain dateng yaa...!!
Aku : wuaahhh... I am so glad to hear that! Heh?! Gilak loe?!! Tiket pesawat mahal, wooyy!!!
Gent : Yaahhh.. Demi gue laahh.. bawain novel yang udah loe janjiin itu.

Aku benci banget sama orang satu ini. Apalagi ketika inget waktu dia ngenalin Vanilla, si cewek dengan rok mininya. Aku juga benci banget ketika harus merindukan dia diam-diam. Aku benci memendam rasa ini. Aku benci ketika harus berjuang keras membuat rasa ini mengkristal dan menyimpannya di bagian paling jauh di dalam sana, di hati. Aku benci harus memiliki rasa ini, sementara yang selama ini menggenggam tanganku bukan dia. Sementara yang menghapus tangisku bukan dia.  Reluctantly I confess that I miss you like crazy, Gent!

Aku masih gak ngebales email terakhir dari dia. Beberapa saat kemudian...
Gent: : Apa yang spesial dengan bersandar di pagar depan sekolah sembari melihat senyum simpul di wajah manismu? Aku tak pernah menyesal menyimpan perasaan ini. Aku hanya tak ingin menjadi laki-laki pengecut dengan merusak hubunganmu bersamanya. Mungkin Tuhan menakdirkan yang seperti in. Meski aku selalu berharap kisah kita tak berhenti di antara kristal rasa yang terpendam di dada. Because you are my sweet high school memories at the most, my dear Bee..

Aku menutup laptopku. Aku jatuhkan badanku ke atas kasur. Aku tutup mataku. Gent... kalo aja loe tau apa yang gue rasain sekarang. Ahh...
Sejenak aku berniat nelepon Dito. Kemudian ingat kalau dia hari ini lagi ada site visit. Pasti juga susah sinyal. Akhirnya aku urungkan niatku untuk nelepon Dito.
Ah, aku kacau malam ini. Aku harus segera tidur. Tapi...

“Gent, mencintaimu seperti melakukan penantian yang tak bermuara. Merindumu menjadikanku seseorang yang seolah tak setia. Hanya karena aku melakukannya diam-diam.  Kamu seperti hujan, datangnya suka tiba-tiba. Seperti juga hujan, yang datangnya membawa kenangan, sepotong pun utuh. Gent, bulan depan kau akan menikah!”

Tepat jam 6 pagi aku udah bangun. Ups, ada chat whatsapp dari Dito.
Dito : Selamat hari hujan sayaaang... Tidak berlebihan kiranya jika aku berucap rindu padamu hujan kecilku... Dan apakah gemericik itu berasal dari hati yang merindu? –aku,

Kemana Perginya Cinta?



Semalam aku bermimpi tentangnya setelah sekian tahun. Yang aku ingat, memimpikannya adalah sebab aku yang sangat sedang merindukannya, dan beberapa kali mimpi itu menjelma semacam firasat. Seperti beberapa tahun yang lalu, aku tiba-tiba memimpikannya padahal telah lama kami tidak berkomunikasi, bahkan mendengar kabarnya pun sudah tidak, kuketahui di kemudian hari bahwa waktu itu dia sedang ditimpa masalah. Kecemasanku ketika itu pun, tak seperti pagi tadi. Keingintahuanku tentang keadaannya waktu itu pun, tak kurasakan pagi tadi. Dan aku juga tidak sedang merindukannya sama sekali.

Aku sedang tidak mengerjakan apa-apa sekarang, dengan segelas bir di meja dan sepotong senja dari balik gedung yang tidak terlalu tinggi teriris kabel-kabel yang semrawut. Aku juga tidak sedang ingin mengingatnya ketika musik-musik reggae mengalun dari speaker café, setema dengan interior café bernuansa Jamaican dan senada dengan namanya Yah Man Café. Tapi ingatanku kembali kepadanya, musik-musik semacam ini yang sering kudengar mengalun dari speaker handphonenya. Beberapa waktu lalu. Ketika aku sering menghabiskan waktuku untuk sekedar berada di sekitarnya.

“Aku di Ubud.” kukirim pesan kepada kekasihku.

“Sama siapa?”

“Sendirian, tadi balik kantor langsung kemari.”

“Berhati-hati. Selamat bercengkerama dengan diri sendiri. ”

“Iya. Love you!”

“Love you more. Kabari aku setibamu di kos.”

Kupulas senyum simpul di bibirku sembari meletakkan handphone di meja. Kusenyumi sesuatu yang hilang ketika ingatanku tiba-tiba sampai padanya. Kuteguk bir dingin di meja, segar mengaliri tenggorokanku serupa kelegaan yang memenuhi tubuhku sebelum aku terlelap malam tadi.

***

“Sayang, kemana perginya cinta?”

“Apa yang membuatmu menanyakan ini?”

“Tidak, aku hanya penasaran. Kemana perginya cinta. Sebut saja milikmu.”

“Milikku? Dia tidak pergi kemana-mana. Dia ada dan akan terus tumbuh.”

“Hmmm.. Lalu, bagaimana kamu bisa berganti pasangan? Apakah cinta itu berpindah?”

“Aku punya dua konsep cinta, jatuh cinta atau mencintai, maksudmu yang mana?”

“Ah, apa bedanya?”

“Jatuh cinta itu sesuatu yang aku tak bisa menolak datangnya, kapan dan kepada siapa cintaku dijatuhkan. Sedang mencintai adalah sebuah pilihan, aku bisa memilih kapan dan kepada siapa aku akan mencintai. Aku belum pernah jatuh cinta kepada selainnya. Tapi aku pernah mencintai beberapa pria selainnya.”

“Oke, jatuh cinta dan mencintai. Mantanmu itu?”

“Bukan, seseorang jauh sebelum dia. Kau mau dengar?”

“Siapa itu? Cinta pertamamu?”

Aish!! Sial tujuh turunan. Kenapa mulutku menawarkan sesuatu yang sudah aku sepakati bersama diri sendiri untuk tidak menceritakan tentangnya kepada kekasihku. Aku tak ingin mengulangi kesalahanku kedua kalinya. Hai otak, tolong bekerja samalah! Kuhela napas sedalam-dalamnya sebelum aku melanjutkan cerita.

“Bisa dibilang begitu. Aku belum pernah merasa jatuh cinta kepada selainnya. Aku belum pernah merasakan debar seperti yang kurasakan padanya. Aku belum pernah melewatkan ingatan-ingatan tentangnya. Debar itu masih ada dan masih sama meskipun aku tak pernah mendapatkan balasan darinya, aku tak pernah memiliki kesempatan menjalin hubungan dengannya, bahkan debar itu masih hidup ketika aku sudah berkali-kali menjalin hubungan dan memilih mencintai lelaki selainnya.”
Rupanya otakku menuruti perintahku, tak terdengar getaran di nada suaraku kali ini. Seperti ketika aku menceritakan perihal dia kepada teman-temanku, bahkan mantanku. Good Job!

“Bisa begitu? Padahal kamu hampir menikahi mantanmu itu. Lima tahun kalian menjalin hubungan, kan?”

“Buktinya bisa. Kamu benar, aku hampir menikahi mantanku setelah lima tahun kami menjalin hubungan. Aku tidak jatuh cinta kepadanya, tapi bukan berarti aku tidak bisa memilih untuk tidak mencintainya.”

“Lalu?”

“Jatuh cinta sangat menyebalkan, kamu tahu. Apalagi jika kamu jatuh cinta sendirian. Kamu memelihara ingatan-ingatan tentangnya tanpa kamu sengaja. Kamu mencemaskan sesuatu tanpa alasan tentang dirinya. Kamu akan merasa sangat iri kepada segala yang bersinggungan dengannya.”

“Hmmm..”

“Iya, jadi. Menjawab pertanyaanmu tadi, cinta itu tidak pergi, pun tidak berpindah.”

“Apa kau menyukainya? Maksudku menikmati memiliki perasaan seperti itu?”

“Tidak lah, sayang. Aku kehilangan mantanku pun bisa jadi karena aku masih merasakan debar itu padanya. Kamu tahu, sebenarnya aku ingin menyembunyikannya saja darimu. Maafkan aku.”

“Tak perlu. Ini menarik. Mantanmu tahu tentang dia?”

“Tahu, dan aku sangat menyesalinya. Aku pernah menangis tersedu di bahunya, hanya karena aku sangat merindukan lelaki itu.”

“Jadi kamu tidak bisa menghapus perasaan itu?”

“Sama sekali tidak. Dengan segala cara. Rasa itu tumbuh bersama ingatan-ingatan. Ini seperti sesuatu di luar kuasaku, bekerja di bawah alam sadarku.

“Kamu masih bisa mengingat pertama kali kalian berjumpa?”

“Tentu saja, dengan detail. Aku masih ingat bagaimana dia  memainkan Walkman di tangannya, sesekali membenahi bandanya dan letak kacamata hitamnya. Aku pun masih ingat bagaimana raut wajahnya ketika aku diam-diam memperhatikan dia dari jendela kelas. Aku masih ingat peristiwa apa saja yang membuatku menangis merasa kalah akibatnya. Dan aku pun masih ingat apa yang dia katakan ketika aku mencari-cari perhatiannya. Bahkan aku tak pernah melewatkan satupun hari ulang tahunnya sejak sepuluh tahun lalu. Aku akan dengan sendirinya berusaha untuk menjadi yang per… eh…”

“Halo?”

“Sebentar”

Kupandangi kini layar handphone yang sedari tadi kutempelkan ke telinga. Ujung jariku membuka aplikasi kalender. Damn!! Sekarang tanggal 22 Februari!!

***

dalam proyek nulis iseng bersama @vikaaditya @gustihasta @irzabelle @susyillona dan @gerielfarah yang bertema #memeliharaingatan

It Was Dawn That Day



It was dawn that day
I picked you up at the train station
That night before was like a best night ever
Damn nicely was being quite nervous

It was raining right in the moment you arrived at the train station
You sounded a little bit worry about me on that phone, I loved it.
I ran to you
You looked beautiful as always
With that angelish smile on your face

A cup of coffe
A cup of milk
A couple of black and white
Rainy day, please do not stop!

I felt very happy as if I had a date, romantic date
We were sitting very closely in front of the gate
Was the sky being friendly to me (us)?

Time goes by
A lot things I tried, just to get close to you

I took you to a friend’s wedding
With new shirt that I just bought in that morning
You said you like my shirt
In silence I was saying I like you (Aku suka kamu mbak.. J)

Suddenly I felt sad
Wondering that day was the last day I had
Last beautiful moments together with you
It seemed like I could not find any reason to meet you anymore

But mother nature, grand mother universe
They knocked on Heaven’s door
Begging God to give me (us) time
I humbly took that chance

I feel grateful for God blessing me by sending  you to me

As time goes by
You became mine
I became yours

As time goes by
Every day is not always a beautiful day
Every day is not always a happy friendly day
There are sometimes hard days

Oh my love,
I feel sorry for dragging you down so much times
I feel sorry for each times I let you down
I feel sorry for too much sorry I said to you

My Dear,
We have hard roads coming up
We have storms to fight
And I will never leave you
I love you even in a very worst condition

I love you!

-D-

Kiranya begitulah jatuh cintanya padaku, pun aku padanya. Kami beda dalam semua, kecuali dalam cinta. Keyakinanku hanya satu, keajaiban itu nyata. Dia dan aku adalah satu.

--------------////--------/////--------

Di suatu sore di sebuah kedai makanan cepat saji, kami berbincang panjang lebar. Dia bercerita konsep ketuhanan tiga-menjadi-satu atau satu-menjadi-tiga atau tiga-yang-satu, entahlah aku sedikit bingung tapi aku mengiyakan. Aku juga bercerita tentang konsep ketuhananku yang sederhana. Tuhan yg tunggal, yg tidak menjadi dua atau tiga atau berapapun. Tuhan yang tidak beranak atau diperanakkan. Tuhan yg berbeda dg makhluk ciptaan-Nya. Dan Tuhan yang dekat bahkan lebih dekat dengan urat nadi kita.

Saat itu, ada satu hal yang kurasa, I am sure he is the one. I am sure, he is my forever. Begitulah cinta. Kami pernah saling menyakiti, kami pernah saling tidak setia, tapi kami tidak punya daya upaya untuk saling ucap selamat tinggal.

Tiada banyak yg bisa kami lakukan, selain berusaha untuk selalu-saling. Selalu saling menguatkan, selalu saling mendoakan, selalu saling mencintai. Sementara orang mencibir, memberikan nasehat, dan diakhir mereka bilang "Menasehati orang yg sedang jatuh cinta, seperti bicara dg keledai", sembari bejalan pergi. Dan kami, hanya bisa begini. Menggantungkan nasib pada doa. Berharap Tuhan berbelas asih pada kami.

Tuhan Maha Asyik, membuatku jatuh cinta tibatiba, membuatnya tibatiba jatuh cinta, membuat kami selalu-saling dalam satu cinta. Amin.




***

ditulis oleh I.K

Mimpi Milik Perempuanku



Aku melihat dengan jelas raut wajahmu, kau sedang menari-nari di taman penuh bunga-bunga, entah bibirmu sedang mendendangkan apa. Aku ingat, kau senang bersenandung dan begitu mencintai bunga mawar. Mawar itu cantik, berlapis perlindungan agar kau bisa menyentuh sarinya, mawar itu tegar melindungi diri sendiri, semakin kau genggam kau hanya akan menyakiti tanganmu sendiri, begitu katamu kepadaku suatu hari.

Entah bagaimana, kau sekarang sudah berada di kebun mawar. Memetik beberapa berwarna merah dan beberapa helai ilalang di sekitar, kemudian merangkainya menjadi hand bouquet yang cantik di genggamanmu. Ah, aku mengerti. Bagimu, hidup harus selalu seimbang, kau menunjukkan padaku bahwa ilalang yang kelas bawah pun bisa sejajar dengan mawar yang kelas atas.

Sekarang kau sedang berdiri mematung, dengan buket mawar di tanganmu yang ditangkupkan di depan dada. Matamu memejam, namun berair, diam-diam mengaliri pipimu. Perlahan kau membuka mata, menengadah dan tersenyum. Kebun mawar berubah menjadi ruang pesta pernikahan, gaun putih tulang yang kau kenakan mengayun seirama kakimu melangkah menuju pelaminan. Ada aku sedang menunggu di altar.

Aku bangun kesiangan dan daftar perkakas yang harus kubeli pagi ini tiba-tiba menghilang. Ah, sialan. Jam satu siang aku sudah harus tiba di kantor, aku tak mau mendengar boss buleku marah-marah karena aku terlambat, meskipun aku tak begitu paham apa yang dikatakannya jika ia menyerocos begitu saja dengan bahasa ibunya. Dengarkan saja sambil berkata sorry boss sorry boss, yes boss yes boss pura-pura mengerti, asal jangan oh yess boss oh no boss. Kelakarmu ketika aku mengeluh saat pertama kali dimarahi seminggu lalu.

Aku tak dapat menemukannya di saku celana, di saku kemeja, bahkan di setiap kantong ranselku. Sudah lebih dari satu jam aku mencari catatan sialan itu. Kau meninggalkannya di kantor setelah menyalinnya ke evernote. Kau memberiku jawaban yang tepat ketika aku mengeluh padamu. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Kebiasaan sekian tahun bersamamu, membuatku sedikit kesusahan beradaptasi berada jauh darimu. Kuhela napas dan berbisik kepada diri sendiri. Ini hanya sebentar, aku pasti bisa, demi pernikahan ini, dan kaupun pasti mengerti.

Aku bergegas memacu motorku menuju toko perkakas di tengah kota. Entah kenapa perjalanan dari Nusa Dua ke Denpasar siang ini begitu menyebalkan, berkali-kali aku terhentikan lampu merah padahal dikejar waktu. Kutengok jam tanganku, sudah jam sebelas, ketika aku harus diberhentikan lampu merah yang kesekian di perempatan Keboiwa. Mataku menangkap restoran cepat saji itu, ingatan memutar waktu, aku bertemu denganmu pertama kali di tempat itu, lima tahun yang lalu. Setelah menikah aku ingin berbulan madu di Bali, napak tilas pertemuan pertama kita dulu. Katamu semalam di ujung telepon. Aku tersenyum simpul.

Langkah kakiku sampai di lorong perkakas, sebelumnya aku melewati lorong tempat kebutuhan hewan peliharaan. Aku melihat pet carrier yang sama dengan milikmu, yang dulu kita beli, juga di tempat ini. Tenang saja, berhentilah menangis, percaya padaku, yang pergi biar pergi, yang hilang pasti berganti. Kataku padamu dua hari lalu, waktu kau sesenggukan mengadukan kucing kita yang kabur dan tak pernah pulang lagi. Kuambil beberapa barang sesuai dengan catatan di ponsel genggamku, kemudian bergegas menyelesaikan transaksi dan segera pergi ke kantor.

Kali ini aku mengambil rute melintasi Sunset Road menuju arah bandara, jalanan tak cukup lancar, meski lampu merah tak semenyebalkan perjalanan berangkat tadi, ingatan kembali memutar waktu. Di jalanan ini aku pernah mengajarimu mengendarai motor sport. Aku tak mau terlalu bergantung padamu sayang, bagiamana jika suatu hari nanti aku harus segera pergi sementara kau masih sibuk dan yang ada hanya motor milikmu? Alasanmu ketika memintaku mengajarimu beberapa tahun lalu, aku sudah lupa tepatnya, tapi aku masih ingat bagaimana kau dengan cepat bisa mengendarai motor ini sendiri tanpa bantuanku lagi.

Jam satu lebih lima belas menit aku baru tiba di kantor. Kurapihkan perkakas yang sudah kubeli, sebagai engineer pertama di perusahaan yang baru seperti sekarang ini, aku harus memulai semuanya dari awal, termasuk membeli perkakas dan membuat SOP agar pekerjaan tetap bisa dilakukan orang lain jika sewaktu-waktu aku sudah tidak bekerja di sini lagi. Huh, aku harus bersiap mendengar omelan boss buleku karena terlambat, sebab mau tak mau aku harus menemuinya untuk melaporkan apa yang telah kubelanjakan.

Jantungku berhenti berdetak sepersekian detik untuk kemudian berdetak dengan sangat kencang dan tanpa aturan ketika tatapan mataku bersinggungan dengan lirikan matanya. Gadis itu berkuncir kuda, tersenyum manis sekali ke arahku, sesaat setelah ia keluar dari ruangan. Debar semacam ini belum pernah kurasakan, bahkan kepadamu. Tiba-tiba keringat membasahi leher dan dahiku, dan sejak saat itu aku selalu ingin kembali melihat senyumnya, setiap hari.

Aku mendapatkan tawaran kerja di Bali lagi dan gajinya lumayan untuk kita tabung, beri aku waktu setahun saja, lalu aku akan pulang dan kita menikah.

Pergilah, aku akan melanjutkan usaha kita dengan baik.

Tapi aku jatuh cinta padanya.

Maka berbahagialah.


***

dalam proyek nulis iseng bersama @vikaaditya @gustihasta @irzabelle @susyillona yang bertema #jatuhcintatibatiba

***

ditulis berdasarkan pengalaman, tidak semua benar, jangan baper :p

Surat Terbuka kepada JNE

Dear JNE,

Saya mungkin orang yang kesekian yang kecewa sama JNE. Dan kejadian ini juga bukan kejadian pertama yang saya alami. Tapi sekarang, saya sudah benar-benar jengkel samamu.

Kronologisnya begini :
- Tanggal 21 Februari 2017 saya mengirimkan paket ke konsumen saya dari Surabaya ke Cilincing, menggunakan paket kiriman YES, yang katanya YAKIN ESOK SAMPAI. Ongkos kirimnya Rp 78.000.
- Kenapa saya milih YES, karena ini barang akan dipakai sama konsumen saya untuk acara tasyakuran 4 bulanan kehamilannya tanggal 23 Februari 2017, sore hari.
- Tanggal 22 Februari 2017, konsumen saya sudah menerima konfirmasi berupa pop up bahwa barang sedang dalam pengantaran. Tapi sampai siang tadi (bahkan sampai postingan ini ditulis), 23 Februari 2017, barang belum sampai di tangan penerima.
- Tanggal 23 Februari 2017 siang saya menelpon CS Surabaya tapi tidak tersambung, maka saya menanyakan kejelasan barang tsb ke akun twitter @JNECare, dan diberi jawaban bahwa barang tsb sedang dalam perjalanan menuju alamat rumah penerima.
- Pukul 04.21 PM WITA, saya menelpon CS Jakarta. Saya mendapat jawaban bahwa : barang tsb sudah diantarkan pada tanggal 22 Februari 2017 namun tidak sampai kepada penerima karena alasan rumah/kantor tutup. Saya sudah menyampaikan bahwa rumah ybs tidak pernah tutup pada tanggal 22 Februari 2017, kecuali mengantarnya tengah malam. Dan konsumen saya tidak menerima telpon sekalipun dari pihak JNE. Si mba CS menyampaikan bahwa sudah dilakukan tindakan untuk mengatasi hal ini, yaitu diusahakan barang akan sampai sore ini.
- Pukul 05.57 PM WITA, saya kembali menelpon CS Jakarta dan mendapatkan jawaban yang sama. Lalu saya menanyakan, barang tsb di drop di JNE mana? Konsumen saya bersedia mengambil, kalau JNE tidak sanggup mengantar. Mbak CS tidak bisa memberi jawaban. Kemudian saya juga menanyakan barangkali ada nomer tlp kurirnya, tapi lagi-lagi mbak CS tidak bisa memberikan jawaban. Pada percakapan ini, saya juga menanyakan bagaimana saya bisa klaim pengembalian ongkir yang sudah saya bayarkan, karena barang tidak sampai pada keesokan hari seperti janji JNE YES, namun lagi-lagi saya kecewa, menurut Mbak CS saya tidak bisa mengklaim pengembalian ongkir YES yang tidak sampai pada hari berikutnya, karena "JIKA JNE TIDAK BISA MENGANTARKAN BARANG PADA HARI TSB KARENA RUMAH/KANTOR KOSONG, AKAN DIANTARKAN DI HARI ESOK NYA LAGI".

Dear JNE yang saya sayangi,

Saya capek dibeginikan melulu.
Sekarang bantu saya mikir, itu barang mau dipake sore ini, untuk acara tasyakuran. Kalau barang itu nyampe nya malam atau besok (24 Februari 2017) gimana?
Tasyakurannya diundur?
Tasyakurannya tetep jalan lalu barangnya dibuang?
Barangnya dihapus sablonannya, lalu disablon lagi kali2 bisa dipake untuk tasyakuran kelahiran lima bulan kemudian?
Dihibahkan ke tetangga?
Dipake bantal tidur?
Dipake lap ingus?

Dan tolong kasih saya alasan yang masuk akal untuk :
1. Kalau memang benar rumah itu kosong, kenapa abang kurir nya tidak menelpon? Padahal alamat sudah lengkap dengan nomer tlp.
2. Kalau abang kurir memberi alasan rumah/kantor kosong, sehingga barang saya yang saya kirim dengan paket YES, tidak yakin esok sampai, kenapa saya tidak boleh klaim pengembalian uang yang sudah saya keluarkan untuk ongkos JNE?
3. Saya sudah sering dikecewakan samamu, saya juga sudah sering mendengar orang lain kecewa karenamu, tapi kenapa saya masih pake jasamu? Kenapa?

Kenapa JNE? KENAPAAAA??????????

NB : Kalau kalau ada yang baca ini dan pengen lihat barang apa, bukti resi dan rekaman percakapan saya dengan mbak mbak CS, sila kirim whatsapp, nomer saya di bawah nama.

Terimakasih,

Yang kecewa tapi terpaksa membutuhkanmu,

Galuh Sitra Harini
082231287440

UPDATE

Pukul 08.10 PM WITA, saya nelpon lagi. Yang angkat mas mas CS.. Jawabannya masih saamaaaaaaa.. :(
Dan konsumen saya jadi beli kresek.. :(

Cinta di Bulan Agustus

2:
"Apakah kau lupa?
Sebelum ini kau berpijar di malam angkasa.
Sebelum kurebut dari semesta.
Rembulan itu,
ia hanya penggantimu"

4:
"...Aku sudah di beranda hatimu,
dan sstt...
Kucurikan Mentari dari semesta.
Ia untuk kedinginanmu,
dan aku untuk kesendirianmu"

13:
"Ada yang libur di hari Sabtu.
Mentari di kotaku,
dan puisiku.
Ia malu-malu"

13.2:
"Aku suka bulir matamu yang saling susul.
Menangislah...
Menangislah di dadaku"

14:
"Aku bertengger di pelupukmu,
apapun yang berlinang kuteguk habis.
Kujagai pipimu,
dari basah selain kecupku"

14.2:
"Kalau ada aku di mimpimu, suruh pulang.
Nasehati:
Kebahagiaanku di dunia nyata, aku lelah bermimpi"

16:
"Ada yang kutitipkan bersama udara,
ia sisir lembut rambut jagungmu,
lalu menabur benih di dadamu.
Kau namai ia apa saja, terserah.
Itu sudah sepenuhmu"

16.2:
"Ada yang perlahan tumbuh di kita,
usah risau jarak, Sayang.
Ia hanya pematang,
sebagai jalan Tuhan
memupuk takdir kita"

17:
"Kulapangkan dadaku, Dik.
Seraya memerdekakan dirimu
dari segala kesedihan.
Rebahkan kepalamu di sana.
Sulut kebahagiaanmu kembali"

19:
"Akan tiba masa,
dimana aku lebih gemar memelukmu
daripada merupakanmu
di antara kata-kata.
Akan tiba masa..."

21:
"Pagi akan tiba:
Melingkarkan lengan di lehermu
dan mendaratkan kecupan di keningmu.
Tiada henti.
Akan tiba"

23:
"Di antara ratus binar lampu kamarmu,
aku rupa satu.
Menjagamu, memelukmu sebentuk cahaya.
Memejamlah
Relalah
Jatuh"

23.2:
"Kusanderakan diri pada hembusan,
tertunggang seret angin buritan.
Hanya dan ini,
cara memulas kening kecup kembang.
Selasa!"

24:
"Pagi di matamu,
lembab nan sembab.
Ah! Usah gelisah.
Binarmu Matari user segala resah.
Buka mata, pijar!
Rabu!"

25:
"Sepenggal pekan tercukupi ramah,
legit malam memulas senyum.
Jarak?
Ah! Mimpi kita sama,
meski tidur beda kota"

26:
"Semanisnya begini;
Kalau barisan konsonan,
dan akulah penggalan vokal.
Kita lahirkan kata-kata"

27:
"Aku mendakwa diri,
sebagai pengikis gunung-gunung cemasmu.
Gandrung menguliti resah di sudut ingatanmu.
Sampai pada pagi, kau hanya meributkan:
esok makan apa dan tamasya kemana"

28:
"Sejumput jingga menjepit rambut langit,
elok nian.
Seperti paras ayumu,
sunggingkan sedikit senyum, Nona.
Kamu menang"

31:
"Di suatu pagi hampir buta,
wajahmu terukir tegas.
Tangan-tangan udara mendekati mata.
Memaksaku menatahmu lebih jelas"

Pertemuan

Pagi tadi di terminal Surabaya yang gerah, aku memijakkan kaki. Aroma kepergian dan perpisahan bercampur dengan bebauan pesing di sudut-sudut yang tak terjamah tukang pel. Irama kedatangan dan pertemuan riuh rendah bersama percakapan, gosip-gosip murahan, suara penjaja kaki lima, supir taksi dan tukang ojek yang mencari rejeki. Masih pesing dan pusing, aku melihat empat kotak telepon koin tua, SUROBOYOKU BERSIH DAN HIJAU begitu bunyinya. Barangkali di dalamnya masih tersimpan isak tangis perpisahan atau bisikan riang menunggu jemputan. Aku tak sadar tersenyum memandanginya, entah kenapa barang-barang lama begitu menyenangkan.

Kali ini aku berdendang tentang pertemuan. Menggeleng untuk setiap tawaran mengantar pulang, "menunggu jemputan" kataku yang entah berapa kali kuulang. Duduk di seberang tempat kedatangan, pada dua pipa besi yang dipasang dengan ketinggian berbeda, sehingga bokongku mendapat tempat agak sedikit enak untuk menanti. Ah, sebenarnya aku sudah letih menanti, kuberitakan kepadamu itulah sebab pagi ini aku ada di sini. Aku malas menanti lebih lama lagi. Eh, Surabaya memang gerah meskipun pagi hari, atau aku yang gerah sebab menanti?

Denpasar kemarin malam, kotamu pagi ini. Aku sudah gila, kubercandai semesta. Kamu, aku, kita adalah dua orang dari masa lalu, yang barangkali telah sering bertemu. Barangkali saja, biarkan sudah. Dan hai, aku menerima tantanganmu bertaruh kali ini. Setelah sekian kesialan-kesialan yang lalu, aku memesan kesialan lain, ketika kemudian langit mengirimkanmu.

"Macet, tunggu aku di tempat nyaman" katamu. Lalu aku beranjak menuju tempat yang berbeda. Dalam jingkat kakiku, sesekali bibirku tersenyum, tak mempercayai tubuhku sendiri yang tiba-tiba sudah berada di sini. Berjalan melewati lorong, kios-kios makanan, loket-loket karcis. Kemudian mengambil tempat duduk di ujung ruangan.

"Kamu dimana? Aku di tempat kedatangan"
"Parkir motormu, cari aku di tempat nyaman"

Tak lama kemudian, senyummu, senyum kita.

Tawa meledak. Sial, mudah sekali menemukanku. Semesta sedang lucu-lucunya.

Galuh Sitra Harini

Tuhan gemar bercanda, dan saya sedang berusaha tertawa

Powered by Blogger.