Memesan Takdir

Ketika masih belum senja, kutaksir satu jam lagi Matari akan membulat jingga sebelum menghilang ditelan samudera, aku sedang menggoreskan pensil di kertas gambar yang sedang kupangku. Belakangan, aku gemar membingkai wajahnya untuk kutempel pada dinding kamar kosku yang sempit, sesekali untuk kuberikan padanya sebagai hadiah. Wajah ayu itu, yang kutemui pertama kali tiga tahun lalu ketika aku dipindah-tugaskan ke Bali. Kami tak sengaja bertemu di pantai ini ketika aku sedang asik duduk seorang diri menanti Matari terbenam, kemudian dia dengan anggun menghampiriku, ternyata hanya untuk meminjam korek api. Kemudian dia memantik api dan menyulutkan pada sebatang rokok di bibirnya, tapi dadaku yang terbakar kurasa. Sebab hangat menjalar dari dadaku menuju ke seluruh tubuh, sesuatu yang telah lama tak kurasakan. Aku mengingat-ingat, sepertinya telah berlalu sepuluh tahun silam. Terima kasih katanya sambil melempar senyum dan berlalu. Aku membalas senyumnya, senyum yang tak berarti "Sama-sama" tapi "Aku suka".

Lima menit berlalu, garis wajahnya sudah tergambar sempurna, kini tanganku mulai menuntun pensil untuk mengabadikan matanya. Aku menerawang, mata itu bulat cemerlang agak menjorok ke dalam, tulang matanya tegas, namun tatapan seorang ibu masih terlihat jelas di sana. Bulu mata lentik itu yang sesekali menjadi bahan candaan kami di lain hari.
"Enak sekali menjadi kau, tak perlu pakai maskara."
"Makanya, ketika pembagian bulu mata datang paling awal, aku yakin kau pasti masih molor." Timpalnya.
Kemudian dia akan menjulurkan lidahnya dan menyipitkan matanya. Aku tersenyum kecil mengenangnya, sebelum kulanjutkan mengarsir alisnya yang mengambang sempurna, ujung-ujungnya hampir bersentuhan, lucu seperti sepasang sayap malaikat yang kehilangan pemiliknya. Sepuluh menit kucukupkan menggambar keseluruhan mata indah itu, sepasang mata yang dimana aku ingin membangun rumah lalu menetap, menua dan mati di dalamnya.

Matari sudah condong ke barat meski samudera belum ingin menenggelamkannya, menampakkan wujud bundarnya tepat setelah aku menyelesaikan gambar dua Matari yang menghiasi semesta wajahnya. Jingganya menemaniku melanjutkan mengarsir hidungnya. Hidung itu mungil, tak terlalu mancung juga tak terlalu pesek. "Hanya pas pembagian hidung aku datang terlambat, maka dapatlah aku hidung yang menyebalkan ini." Katanya bersungut-sungut suatu hari waktu kau sedang memulaskan shading entah yang aku tak begitu mengerti. Agar terlihat sedikit mancung, katanya, padahal dengan hidungnya yang itu sempurnalah wajahnya bagiku. Aku pernah menggambar wajahnya dengan hidung yang kugambar lebih mancung dari yang sesungguhnya, atas permintaannya juga, wajahnya menjadi aneh di mataku. Dia menertawai keanehan itu, namun tetap memajang gambar itu di dinding kamarnya.

Lima menit berlalu, hingga pensilku mulai mengarsir bibirnya. Bibir yang melahirkan senyum paling tenang dan tawa paling riang yang pernah aku kenal. Bibir tebal dan seksi itu menggemaskan, aku bahkan pernah membayangkan terlahir menjadi lipstick, untuk kemudian merelakan diriku perlahan habis disapukan pada bibirnya, menemani kepercayaan dirinya melawan dunia, dan aku akan beruntung sebab sesekali aku akan tertelan olehnya bersama es teh atau es jeruk atau gelato kesukaannya lalu aku hidup pada aliran darahnya. Lagi-lagi aku tersenyum mengingat andai-andai bodoh itu, aku tak percaya aku pernah mengandaikannya. Mungkin memang benar kata seorang penyair recehan, cinta memang begitu pandai membodohi. Ah, cinta. Cinta lah yang membuatku sampai saat ini memutuskan untuk tak mengatakannya. Biar saja aku mengatakannya pada senja, pada buku-buku sketsa, pada pensil-pensil yang hilang runcingnya, pada apa saja yang bersedia, asal tak kepadanya. Aku tersenyum, bibir di kertas gambarku juga tersenyum.

Hampir saja samudera menelan habis Matari, aku masih punya waktu menyelesaikan mengarsir telinga dan rambutnya. Telinga itu kugambar dengan menambahkan anting-anting cantik menghiasi ujungnya. Dia pasti menyukainya, satu bulatan sederhana berwarna putih tergambar sempurna. Dia tak terlalu menyukai detail seperti ukiran. Suatu hari dia pernah memberiku anting perak berukir pemberian kekasihnya terdahulu, terlalu rumit, katanya. Lalu aku menyimpannya, tanpa tanya. Pensilku mulai mengarsir rambutnya yang ikal berwarna cokelat dan sedikit bergelombang, kali ini aku akan membuatnya tergelung alih-alih tergerai seperti gaya rambut kesehariannya. Menggerai rambut itu menyenangkan, katanya, dia menyukai anak-anak rambutnya yang bandel menjulur mengenai pipinya meski sudah berulang kali dia sibakkan ke balik telinganya. Aku setuju, sebab itu menambah keindahan wajahnya. Matari sudah tenggelam sempurna ketika aku menyelesaikan sketsa wajah ayu itu, setelah sebelumnya kupakaikan veil menjuntai mengurung senyumnya.

Dia pasti menyukai hadiah pernikahannya ini. Esok lusa dia akan menikah dengan kekasihnya, aku tahu namanya tapi aku tak mau menyebutnya. Telingaku sudah terlampau sering mendengar segala keluh-kesahnya, kekasih hatiku, tentang seorang pria yang kekasihnya. Maka biarkan bibir ini tak pernah sekalipun menyebut namanya. Aku harus bahagia, bagaimana bisa aku bersedih ketika mataku menangkap senyum penuh harunya di pelaminan nanti, ketika telingaku menyimpan rencana-rencana indahnya setelah pernikahan terjadi. Aku akan bahagia, deminya bahagia.

Selamat menapaki kehidupan baru, Aghata.

Air mataku tak henti menetes meski aku marah, kemudian mataku kembali memandangi sketsa di tanganku, yang kau berikan pada pernikahanku tiga bulan lalu. Kupandangi wajahku sendiri di sana, sedang tersenyum bahagia. Kau keterlaluan, kau mengharapkanku bahagia setelah aku mengetahui semua ini dengan terlambat? Kembali aku tersungkur lemas di hadapan pusaramu. Tapi aku harus bangkit demi melihat wajah suamiku yang telah berbaik hati memberikan waktu kepada istrinya untuk menangisi pusara sahabatnya. Dia tak boleh tahu, bahwa aku pun sebenarnya mencintaimu.

Sepanjang perjalanan pulang, teringat kembali catatan terakhir di buku harianmu yang tak pernah boleh kubaca selama ini.

"Di kehidupan selanjutnya, aku akan memesan takdir agar terlahir menjadi seorang pria untuk kemudian menemanimu menua"

0 comments:

Post a Comment

Tuhan gemar bercanda, dan saya sedang berusaha tertawa

Powered by Blogger.